“Kalau kita menjadi Kuda Laut, aku hanya ingin dihamili. Tidak usah dinikahi.”
Kuda Laut (Shalahuddin Siregar; 2009) menangkap ujung kebersamaan pasangan lelaki gay: Aji (Ridwan Adi) dan Bayu (Bayu Kesawa Jati). Hubungan yang telah terjalin selama empat tahun mesti berakhir ketika salah seorang di antara mereka memutuskan untuk menikah, sesuai dengan tatanan sosial yang berlaku. Bukankah para lajang di usia tiga puluh sering ditanyai perihal kapan mereka menikah?
Di saat-saat terakhir kebersamaannya, baik Aji maupun Bayu menjalani hari seperti biasa. Mereka bangun pagi, membaca koran, bekerja, melakukan perjalanan pulang dengan kereta, dan begitu seterusnya. Tak ada tangis, tak banyak kata-kata, tak ada tindakan drastis demi mempertahankan yang lain. Barangkali pasangan ini akan lebih cerewet satu sama lain seandainya mereka akan tetap bersama. Suasana biasa dan cenderung sunyi inilah yang justru membuat kehadiran Perpisahan begitu terasa. Aromanya merebak dari layar dan menyesakkan dada siapapun yang mengendusnya.
Kedua laki-laki kurus ini mempunyai kebiasaan eksentrik yang—disengaja atau tidak—menandai tahun-tahun yang mereka lewati bersama. Duduk di halaman, Aji biasa mencuci jemari Bayu, menggunting kukunya, mengeringkannya, sebelum akhirnya mengoleskan lotion pada tangan kekasihnya itu. “Giliran kamu,” kata Aji setiap kali ritual tersebut selesai. Bayu lantas bersila, bersiap-siap melakukan gerakan balasan yang baru jelas menjelang berakhirnya film.
Kuda Laut berakhir dengan adegan Aji mengumpulkan potongan kuku-kuku Bayu sambil membatin, “Aku ingin menjadi kuda laut. Sebab pada mereka, laki-lakilah yang mengandung. Akan tetapi, adegan siraman—saat kaki Bayu dicuci oleh pengantinnya—barangkali menjadi momen yang paling menohok. Ritual siraman mengandung makna luhur pengabdian istri kepada suami. Namun, bukankah Bayu dan Aji sudah memiliki ritualnya sendiri? Bukankah keduanya bisa dihayati dengan sama? Apakah ritual yang sifatnya personal mesti mengalah dari tradisi yang mengakar, seakan hanya ada sebuah cara saja untuk melakukan sesuatu?
Melihat betapa tenangnya Aji dan Bayu menyongsong hari perpisahan, besar kemungkinan ketika pertama kali bertemu mereka sudah tahu kalau hubungannya akan berakhir seperti ini. Lebih lanjut lagi, perjalanan menunggangi Kuda Laut membawa penonton pada pertanyaan-pertanyaan yang lebih sukar: Apa makna hubungan homoseksual? Seandainya pasangan ini yakin apa yang mereka jalani memang baik, mengapa mereka tidak bersikeras melawan atau sekalian keluar dari tatanan sosial yang ada?
:: Andika Budiman