Friday, July 23, 2010

Kesan Penonton

Mungkin karena nilai IPA saya jelek, atau karena saya termasuk bangsa maritim yang murtad, saya tidak tahu kalau dalam dunia perkudalautan, pejantanlah yang hamil. Setelah menonton film Kuda Laut yang disutradarai Shalahudin Siregar, barulah saya tahu.

Terus terang, meskipun judul film ini gampang diingat, sebenarnya tidak membuat saya tertarik. Pasalnya kata kuda laut lebih mengingatkan saya akan Sea World atau Pertamina, atau agak dekat dengan Kuda Lumping. Untung teman saya, Bayu Bergas, bermain dalam film ini dan untung dia menunjukkan blog film ini yang menampilkan kutipan yang cukup membuat penasaran "Kalau kita menjadi kuda laut. Aku hanya ingin dihamili. Tidak usah dinikahi". Mimpi saya sekali bukan? Sebagai bukan maniak film, demi menyenangkan kawan saya ini pula tulisan tentang Kuda Laut ini saya buat. Daripada saya melulu mendapat teror pertanyaan melalui YM.

Kuda Laut bercerita tentang sepasang gay yang sedang menunggu masa di mana mereka harus berpisah. Salah satu dari mereka akan menikah. Tidak dijelaskan gamblang mengapa dia menikah. Namun dari sedikit percakapan tahulah kita bahwa pernikahan dilakukan demi menjalankan kehidupan sosial seperti orang umumnya: berkeluarga, memiliki anak. Hubungan mereka yang sudah empat tahun ternyata tidak cukup untuk melawan konstruksi sosial. Perpisahan harus terjadi, harus diterima seberat apapun. Hal inilah yang digambarkan di Kuda Laut, bagaimana mereka masing-masing mencoba melepaskan. Kebiasaan-kebiasaan kecil yang biasanya dilakukan bersama, digambarkan berulang-ulang, semakin menambah perasaan kehilangan. Tidak banyak kata-kata atau tangis hebat seperti film drama. Kesedihan digambarkan dalam sunyi.

Menonton kuda laut, memang agak sedikit keluar dari suasana kehidupan gay yang umumnya dikenal: kehebohan pakaian, pesta pora, dan kebebasan seksual. Kuda Laut berjalan lambat. Tidak ada adegan sensual dan pesta. Hanya adegan memotong kuku dan membersihkan telapak tanganlah yang membuatnya menjadi sangat gay.

Seperti menonton film lainnya, kalau ditanya adegan mana yang paling saya suka? Tentu saja adegan ranjang. Namun di Kuda Laut, kita tidak akan melihat adegan ranjang yang akan memancing birahi. Adegan ranjang yang saya suka adalah ketika sepasang kekasih ini baru bangun di pagi hari. Sayup-sayup mata di buka, kemudian dia melihat sang kekasih sedang memandangnya. Saling bertatapan. Dia menanyakan pernikahan kekasihnya di hari itu. Kemudian pelan-pelan menyentuh tangan kekasihnya. Terasa sangat berat. Kalau saya yang bikin film itu, pasti saya akan memasang lagu My All-nya Mariah Carey sebagai backsound. Tentunya akan membuat film itu menjadi lebih girly.

Secara visual, film Kuda Laut memang sangat layak dipandang. Pengambilan gambarnya sangat rapih dan simetris sehingga tidak mengganggu mata saya. Mungkin juga karena film ini memang bukan film yang banyak dialog. Gambarnya sangat diperhitungkan sehingga bisa bercerita lebih banyak. Jadi, rasanya film ini bukan film yang tepat untuk ditonton bersama teman rumpi yang senang mengganggu konsentrasi dengan ngobrol di kala nonton. Satu-satunya gambar yang mengganggu saya adalah tato yang ada di lengan pembeli perempuan di Pasar Klewer. Mungkinkah dia adalah turis domestik iseng yang senang mengoleksi baju Pramuka?

Film ini diakhiri dengan adegan mengumpuli kuku sang kekasih, kemudian dalam hati berkata: “Aku ingin menjadi kuda laut. Sebab pada mereka, laki-lakilah yang mengandung”. Nah, di sinilah wawasan saya bertambah. Setelahnya, saya pun tidak merasakan katarsis seperti menonton film biasanya, namun saya bisa merasakan bahwa ada yang hilang.

oleh : Mudin Em

1 comment:

Unknown said...

Saya pengin sekali nonton film ini...gimana caranya ya...bahkan trailernya di youtube tidak ada